Makna Inklusif dan MBK dalam AIL
Pada pelatihan relawan Airlangga Inclusive Learning (AIL) kemarin, para peserta pelatihan baik relawan maupun perwakilan BEM diajak untuk merenungi arti dari inklusivitas. Secara ahasa, Inklusi berasal dari Bahasa inggris ‘include’ yang artinya mengikutsertakan. Dari arti tersebut dapat dimaknai bahwa inklusif sejatinya menyeluruh melibatkan semua orang dari berbagai kelompok tanpa meninggalkan salah satunya. Menjadi inklusif bukan berarti mengglorifikasi kelompok tertentu seperti kelompok marginal kemudian meninggalkan kelompok non-marginal.
Lalu siapakah kelompok marginal ini?
Kelompok marginal di sini adalah orang-orang yang memiliki perbedaan dengan kebanyakan orang sehingga rentan mengalami diskriminasi, kekerasan dan penindasan seperti teman-teman disabilitas. Gagasan disabilitas, cacat, tuna, dan ‘tidak wajar’ merupakan hasil konstruksi sosial yang melibatkan berbagai aspek ilmu pengetahuan, salah satunya adalah ilmu statistika. Ahli statistik Prancis, Adolphe Quetelet menyodorkan konsep tentang manusia rata-rata yang didasarkan atas perbandingan bentuk fisik dan kesalahan pada tubuh manusia seperti berat badan, tinggi badan, dan bentuk tubuh. Konsep ini lah yang akhirnya memunculkan “normalitas” dan “abnormalitas” dalam pola pikir masyarakat. Singkatnya, “normal” maupun “abnormal” tergantung dari siapa yang memberikan. Jika di dunia ini yang dianggap normal adalah teman-teman disabilitas, maka kita yang menganggap diri kita “normal” akan menjadi “abnormal” di mata teman-teman disabilitas.
Penggunaan kata disabilitas, abnormal, cacat ataupun tuna sendiri sudah dianggap tidak relevan dan dapat dipandang sebagai penghinaan. Disabilitas seringkali disamakan dengan inabilitas yang berarti ketidakmampuan dan ketidakberdayaan dalam melakukan sesuatu. Padahal sejatinya mereka dapat melakukan hal tersebut dengan cara yang berbeda dari orang lain. Disabilitas yang memiliki keterbatasan mendengar belum tentu tidak mampu berbicara ataupun menyampaikan gagasan. Disabilitas yang menggunakan kursi roda pun juga masih bisa melakukan banyak hal yang mereka inginkan. Oleh karena itu, saat ini penggunaan kata disabilitas digantikan dengan difabel yang merupakan akronim dari differently abled, mampu melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dari orang lain.
Dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009, dijelaskan bahwa teman-teman difabel berhak mendapat akses yang sama dalam pendidikan di berbagai tingkatan. Di Universitas sendiri, terutama di Universitas Airlangga, teman-teman difabel merupakan mahasiswa berkebutuhan khusus (MBK) yang dalam kegiatan belajar mengajar nya memerlukan cara yang berbeda dari mahasiswa lain tergantung pada jenis kebutuhan khususnya.
“Education on all levels should be available, accessible, acceptable, and adaptable” (Committee on Economic, Social and Cultural Rights).
Setiap MBK memiliki kebutuhan pendidikan yang berbeda, meskipun memiliki kebutuhan khusus sama, bisa jadi kebutuhan pendidikannya berbeda. Diciptakan beragam tidak bisa dipaksa untuk seragam. Sehingga, AIL berupaya memberi ruang aman dan memfasilitasi setiap kebutuhan dari mahasiswa berkebutuhan khusus untuk mendapatkan akses pendidikan yang sama di lingkungan Universitas Airlangga. #mp.
Author: Primanita Nur
Editor: Rozi